Pelacur juga ber-Tuhan


Yogyakarta sebagai kota pendidikan nampaknya tidak terlepas dalam hal fenomena sosial itu sendiri, layaknya pendidikan yang diklaim sebagai mesin elevator sekaligus membentuk insan yang budiman harus disibukan kepada fenomena sosial yang dianggap kontradiktif dengan falsafah pendidikan. Selain kota pendidikan, Yogyakarta juga terkenal dengan kota budaya, parawisata dan kaum santri. Dengan peradaban yang semakin maju dan berkembang sering kali berakibat munculnya fenomena sosial yang hadir ditengah masyarakat yang menarik antara peradaban, pendidikan, budaya, pariwisata dan prostitusi.

Jika Yogyakarta mempunyai aset pariwisata yang menarik hal itu tidak berarti lepas dari dunia hitam (Prostitusi), nampaknya fenomena ini sangat menarik untuk dikaji ditengah maraknya institusi pendidikan baik sekolah negeri maupun sekolah swasta yang bercorak label agama tertentu, pondok  pesantren, pusat organisasi masyarakat Islam dan sebagainya, keberadaan institusi itu hanya simbolik semata karena maraknya prostitusi dan bahkan bersifat legal (sah) belum mampu menjawab aspek dan menyentuh ranah sosial (masyarakat), hal inilah yang menyebabkan kontradiksi antara peradaban dengan fenomena masyarakat yang dianggap tidak sejalan. Selain itu fenomena yang dianggap timpang berdasarkan sentimen secara spasial maupun temporal bukan berfikir secara berjiwa sosial khususnya pelacur yang dianggap wanita kotor dan najis.

Menurut Tjahyono dan Ashadi Siregar yang dimaksudkan pelacuran adalah “Perbuatan atau praktek seorang perempuan yang jalang, liar, nakal, pelanggar norma susila yang menginginkan lelaki melakukan hubungan seksual dengannya dengan memberikan bayaran”. Dikarenakan penulis menganggap istilah pelacur jika dikaitkan dengan kondisi pasar kembang yang menjadi kajian penelitian kami dapat menyebabkan bias gender, untuk selanjutnya kata pelacur diganti dengan Wanita Penjaja Seks (WPS).

Penulis tertarik dengan teorinya Erving Goffman tentang dramaturgi, dan teori transcendental Kuntowijoyo. Pandangan ini berdasarkan pendekatan nilai-nilai Ketuhanan yang tidak nampak dari luar (simbolik) tetapi lebih kepada substansi yang tidak terlihat dari luar dan mampu dirasakan secara personal dalam diri seorang WPS yang mempunyai peran ganda (Dramaturgi). Fenomena sosial seperti para WPS tidak sekadar menunjukan adanya pola  relasi gender yang timpang, pengeruk uang, dan kelompok social yang termarginalkan seperti cacian dan hujatan, tetapi lebih dari itu, ia memiliki ruang kemanusiaan yang perlu dimaknai dengan cara empati agar kita (Masyarakat) tidak terjebak dengan ikut-ikutan mencemooh mereka (WPS). Sebab WPS juga manusia yang memiliki spiritualitas dan bahasa tersendiri dalam  mengapresiasi dan bermunajat kepada Tuhan.

Paradigma dan budaya masyarakat sering kali menimbulkan sikap diskriminatif  terhadap  WPS yang dipandang sebagai aib dalam masyarakat,  jika dilihat lebih jauh WPS adalah orang-orang yang terlempar dari pergulatan kuasa sehingga mengalami ketidak beruntungan nasib, kondisi ini pun diperparah dengan sikap marginal secara sosial, budaya, ekonomi, politik dan bahkan dalam pandangan agamawan. Hampir secara keselurahan kajian tentang praktik WPS (Prostitusi) menunjukan bahwa menjadi WPS adalah pilihan akhir dan keterpaksaan sikap yang harus diambil, selain itu dunia prostitusi / WPS juga memunculkan dualisme pandangan dalam masyarakat. Di satu sisi mereka dihujat, hina dina, dan direndahkan layaknya binatang. Namun disisi lain dunia prostitusi  dibutuhkan dan dicari sebagai aset yang menguntungkan dan dinikmati oknum tertentu. Dualisme pandangan seperti ini memunculkan pertanyaan ke permukaan apakah dunia praktik WPS dianggap sebagai musibah atau sebagai anugerah ?

Keberadaan Tuhan dalam diri seorang WPS tentu bukanlah Tuhan yang mengalami Institusionalitassebagaimana yang diungkapkan dalam bahasa kaum  agamawan. Sebab Tuhan bagi kaum WPS menyentuh pada dimensi personal yang ruang lingkupnya privasi dan unik yang sangat berbeda dengan pandangan manusia biasa pada umunya, serta memandang apa adanya.

Tuhan mampu hadir dalam diri serta sanubari seorang WPS sekalipun dan bahkan lebih dekat dari itu, sehingga tidak ada lagi klaim agamawan bahwa merekalah paling dekat dengan Tuhan. Tuhan tidak pernah memihak hanya ada pada orang-orang yang dianggap shaleh tetapi Tuhan juga berada pada seorang pendosa sekalipun  karena disitulah letak sifat Tuhan yang maha bijaksana dan pemurah.

Sekalipun WPS dinilai amoral, pendosa dan jauh dari ajaran Tuhan, namun hakikat kemanusiaanya tetap selalu membutuhkan Dzat yang maha kuasa dengan prespektif yang berbeda dalam diri seorang WPS.  Penulis  berharap adanya penelitian dan rekonstruksi pemikiran keagamaan bagi WPS dalam memberikan spirit untuk melakukan perubahan, terutama bagi aktivis Mahasiswa, kepemudaan dan LSM yang berkutat dalam dunia pemberdayaan masyarakat guna membantu mereka agar bisa kembali dalam kehidupan normal dan bermasyarakat.

Tentang faqihpembebas

Jika SAHABAT bisa diartikan dalam ilmu NAHWU, maka jadilah seperti LAA NAFI yang tidak berpengaruh buruk pada temanmu sehingga menjadikannya berubah. Jadilah seperti NUN TAUKIT yang selalu menguatkan dan janganlah seperti MUDHOF ILAIH yang bergantung pada orang lain, tapi jadilah seperti QOD yang selalu bersungguh-sungguh dalam menggapai cita-cita yang setinggi angkasa. Dan janganlah kamu egois seperti AMIL NAWASIKH yang suka memutus atau merusak persahabatan, maka jadilah seperti HURUF ATOF yang bisa menyambung tali persaudaraan dengan kejujuran dan kekompakan.
Pos ini dipublikasikan di sosial. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar