PUASA, MASJID, DAN PASAR

Jauh hari sebelum terlihat hilal yang menandakan awal mula masuknya 1 Ramadhan bertengger di atas cakrawala, nuansa ramadhan begitu terasa sebelum waktunya. Entah itu persiapan memantaskan diri dalam menyambut bulan penuh berkah maupun fenomena nuansa serba-serbi ramadhan lainnya. Jika kita merujuk pada sandaran teologis dalam teks suci al-Qur’an pada QS.Al-Baqarah: 183, jelas sudah bahwasannya pesan Tuhan dalam surat itu menegaskan tujuan berpuasa adalah sebagai momentum metamorfosis setiap insan yang beriman agar bertaqwa. Atas dasar demikian maka wajar lah bila nuansa ramadhan terkesan sakral dan istimewa bagi umat Islam di Indonesia.

Sebagai umat beragama kita merasa senang kalau di bulan ramadhan masjid-masjidbegitu ramai dengan ornamen keagamaan tidak seperti biasanya, entah itu melakukan shalat tarawih-witir, i’tikaf maupun tadarus. Karena bagi umat Islam,masjid adalah simbol spritualitas yang kental akan dimensi kehidupan ukhrowi (akhirat) sekaligus sarana interaksi langsung seorang hamba pada sang kholik.

Gegap gempita dalam menyambut ramadhan tidakhanya ramai dengan dentuman bedugmenjelang berbuka maupun lantunan ayat suci yang membahana. Tapi tengoklah sejenak di supermarket dan mal-mal di perkotaan,menjelang waktu berbuka di penuhi sesak oleh umat Islam yang mencari dan menyiapkan menu berbuka, tak mau ketinggalan dalam meramaikan ramadhan layar-layar televisi kita banyak menyuguhkan tayangan serba-serbi ramadhan walaupun tidak mengandung substansi puasa sama sekali seperti acara komedi, dan sinetron religi dikemas begitu cantiknya . Selain itu, tak luput pula dalam penglihatan kita iklan fashion kian menggurita dan beraneka ragam dengan balutan angka/digit diskon menggiurkan, tak kurang juga iklan-iklan GSM-CDMA ikut latah meramaikan ritual tahunan umat Islam secara persuasif. Di waktu yang lain, tempat pembelanjaan menjelang idul fitri ibarat laron yang mengerubuti lampu, pasar seolah-olah menjadi sentral nafsu manusia, namun masjid sebagai sarana kontemplasi diri tidak dikunjungi sama sekali. Ironisnya,ramadhan dan idul fitri menjadi momentum hedonisme dan euphoria keagamaan yang hampa akan nilai spritualitas, mereka yang mampu secara ekonomi berebelanja barang-barang ‘wah’ tak menjadi persoalan, sedangkan mereka yang miskin memaksakan diri bahkan berhutang.

Fenomena diatas merupakan penjajahan dan serangan kapitalisme dalam inovasi (wajah) baru. Wajah yang dipoles dengan sifat Iman-Islam yang cenderung kamuflase. Sehingga pemahaman keagamaan yang mestinya dihayati malah terjerumus pada budaya konsumtif. Tidak bisa dipungkiri,munculnya budaya konsumtif dilatar belakangi oleh liarnya materialisme yang tidak terkendali. Atas dasar asumsi tersebut, wajarlah bila ditinjau dari sisi ”marketing”, umat Islam yang mayoritasitu adalah target ”pasar” yang luar biasa menjanjikan dan memberikan keuntunganbesar.

Tarik menarikan atara masjid dan pasar menjelang ibadah puasa-idul fitri semakin kentara dalam kehidupan modern. Masjid sebagai simbol spiritualitas-religius kian mengalami godaan-godaan pragmatis dari pasar. Sedangkan, Pasar dalam definisi ekonomi justru mengalami percepatan dan pertumbuhan bagi pemilik modal. Disinilah agama telah menjadi alat dagangan dan komodifikasi, rutinitas keagamaan dengan momentum puasa telahterjajah dalam perangkap budaya kapitalistik. Dengan demikian sumber modal(capital) bisa mengalahkan sumber moral (religion), komodifikasi dan komersialisasi agama dalam bentuk program-program iklan baik melalui spanduk maupun media televisi menjadi bukti nyata bahwa pasar hendak menjauhkanumat Islam dari masjid dalam konteks simbol keduanya.

Sangat disayangkan memang! Kesakralan puasa harus dinodai ketika puasa hanya dijadikan sekadar kewajiban, rukun, dan status belaka. Artinya puasa malah difahami olehkita sebagai budaya materialisme yang konsumtif dan kapitalistik. Maka tidaklah heran ketika kita puasa banyak orang masih kelaparan, karena kita disibukan pada pencapaian materi yang seolah-olah pemenuhan kebutuhan materi adalah segalanya. Padahal, puasa merupakan ajang untuk menghilangkan sifat ke-aku-anmenuju ke-kita-an, pada akhirnya jadilah puasa yang kita jalankan hanyamendapatkan lapar dan dahaga, sementara nilai-nilai hakikat dan ma’rifat tercecer diluar. Disnilah bisa jadi puasa jalan korupsi lancar, hal demikian itu karena kita belum mampu menahan nafsu keduniawian (profan) dan miskinnya sense kesholihan sosial, jadilah puasa yang kita jalankan hanya momentum “menyenangkan Tuhan”, tanpa mau berbagi terhadap sesama khususnya kaum mustadz’afin yang membutuhkan.

Puasa selayaknya tidak hanya difahami sebagai pengertian menahan dari lapar dan dahaga, tetapi lebih dari itu puasa menuntut kita menahan hawa nafsu dari jeratan-jeratan materi agar kita tidak begitu “menuhankannya”. ketika puasa mestinya menuntut kita hidup sederhana, tida kberperilaku boros dan berbuka ala kadarnya. Namun, perintah as-sunnah “makanlahdiwaktu lapar dan berhenti sebelum kenyang” tampaknya diabaikan begitu saja oleh umat Islam itu sendiri. Dalam kondisi tidak sadar kita diguncang dengan gebyar iklan, bujuk rayu media yang harus berbuka puasa layaknya perintah dan kemauan iklan. Bukan lagi alasan karena kewajiban imperativ teks suci Al-Qur’an.

Ketika ibadah puasa tak merasuk ke dalam jiwa, segenap prosesi itu hanya sebagai kehadiran, dan ritual tahunan belaka. Sedangkanhal-hal yang spiritual baik pada wilayah eksoteris maupun isoteris tertinggal di belakang, tak menembus wilayah hakikat dan ma’rifat, Sehinga tak ada taslim, penyerahan diri yang total. Tak ada takhrij, proses mengeluarkan diri dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Tak ada tanwir, yaitu pencerahan diri yang membuat hidup menjadi bersinar. Tak ada tahrir,Pembebasan diri dari segenap berhala kehidupan (materiil). Sehingga ibadah puasa yang dilakukan belum memberikan solusi perbaikan dalam tataran masyarakat kolektiv menuju “Baldatun ThoyyibatunWarobbun Ghofur”

Tentang faqihpembebas

Jika SAHABAT bisa diartikan dalam ilmu NAHWU, maka jadilah seperti LAA NAFI yang tidak berpengaruh buruk pada temanmu sehingga menjadikannya berubah. Jadilah seperti NUN TAUKIT yang selalu menguatkan dan janganlah seperti MUDHOF ILAIH yang bergantung pada orang lain, tapi jadilah seperti QOD yang selalu bersungguh-sungguh dalam menggapai cita-cita yang setinggi angkasa. Dan janganlah kamu egois seperti AMIL NAWASIKH yang suka memutus atau merusak persahabatan, maka jadilah seperti HURUF ATOF yang bisa menyambung tali persaudaraan dengan kejujuran dan kekompakan.
Pos ini dipublikasikan di artikel, pemikiran, Religi. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar